Pengobatan herba pun harus mengikuti tata cara agar berjalan sesuai harapan, aman dan efektif.
Rupanya herba dalam bentuk ramuan, jamu, bubuk maupun bentuk lain merupakan salah satu pengobatan tradisional yang paling banyak dilirik dalam pengobatan kanker. Situs http://www.CancerHelpUK.com menyebutkan, pengkonsumsinya mencapai 60% dari seluruh penderita kanker di seluruh dunia atau setiap 6 dari 10 penderita.
Dari jumlah tersebut, banyak yang pengobatannya lancar dan berhasil sembuh, namun ada juga yang hasil pengobatannya tidak sesuai harapannya. Ada beberapa kasus yang dialami oleh beberapa orang, sebut saja Pradi Shinta (27 tahun bukan nama sebenarnya) yang berdomisili di Semarang. Ia menyayangkan timbulnya Kristal-kristal batu di ginjal Sang Ayah. Sejak didiagnosa kanker usus besar stadium 3B enam bulan lalu, ayah Shinta memang rajin minum bubuk kunyit putih (Curcuma mangga) dan sari buah mengkudu (Morinda Citrifolia). Dokter menduga, Kristal-kristal itu muncul karena herba yang diminum ayahnya. Sementara Risha (34 tahun, bukan nama sebenarnya) dari Semarang, merasa terlena dengan penampilan sehat Ivan, suaminya sehingga lupa memantau efektivitas ramuan herba yang diminum. Ivan seperti tidak sakit dan mengaku tubuhnya lebih nyaman sejak minum ramuan itu, jadi tetap diteruskan. Tahu-tahu Ivan batuk hebat, muntah darah dan kritis. Ternyata sel kankernya sudah menyebar dengan cepat dari stadium 2A ke stadium 4.
Menurut Dr. Arijanto Jonosewojo, SpPD, Kepala Poliklinik Pengobatan Komplementer dan Alternatif RS Dr Soetomo Surabaya, ada banyak factor yang membuat pengobatan herba tidak berjalan sesuai harapan. Umumnya, keadaan tersebut disebabkan kurangnya pemahaman pasien mengenai tata cara mengkonsumsi herba.
Dari jumlah tersebut, banyak yang pengobatannya lancar dan berhasil sembuh, namun ada juga yang hasil pengobatannya tidak sesuai harapannya. Ada beberapa kasus yang dialami oleh beberapa orang, sebut saja Pradi Shinta (27 tahun bukan nama sebenarnya) yang berdomisili di Semarang. Ia menyayangkan timbulnya Kristal-kristal batu di ginjal Sang Ayah. Sejak didiagnosa kanker usus besar stadium 3B enam bulan lalu, ayah Shinta memang rajin minum bubuk kunyit putih (Curcuma mangga) dan sari buah mengkudu (Morinda Citrifolia). Dokter menduga, Kristal-kristal itu muncul karena herba yang diminum ayahnya. Sementara Risha (34 tahun, bukan nama sebenarnya) dari Semarang, merasa terlena dengan penampilan sehat Ivan, suaminya sehingga lupa memantau efektivitas ramuan herba yang diminum. Ivan seperti tidak sakit dan mengaku tubuhnya lebih nyaman sejak minum ramuan itu, jadi tetap diteruskan. Tahu-tahu Ivan batuk hebat, muntah darah dan kritis. Ternyata sel kankernya sudah menyebar dengan cepat dari stadium 2A ke stadium 4.
Menurut Dr. Arijanto Jonosewojo, SpPD, Kepala Poliklinik Pengobatan Komplementer dan Alternatif RS Dr Soetomo Surabaya, ada banyak factor yang membuat pengobatan herba tidak berjalan sesuai harapan. Umumnya, keadaan tersebut disebabkan kurangnya pemahaman pasien mengenai tata cara mengkonsumsi herba.
Supaya pengobatan herba berjalan aman dan efektif pastikan memahami rambu-rambunya, di antaranya, seperti berikut ini;
1. Jangan dipukul rata
Harus, diakui, penderia kanker yang menjalani pengobatan herba tanpa konsultasi pada dokter atau herbalis jumlahnya tidak sedikit. Sebagian dari mereka mengadaptasi herba berdasarkan kesaksian orang atau kepercayaan terhadap efektivitas herba tertentu yang beredar di masyarakat.
Padahal herba yang cocok bagi orang lain belum tentu cocok bagi kita. Sebab, meskipun jenis kankernya sama, namun kondisi setiap orang bisa berbeda-beda. Hal ini membuat keputusan memilih dan mengkonsumsi herba tidak bisa dipukul rata.
Selain itu, Dr Henry Naland, SpB(K) Onk, ahli kanker yang menjabat Ketua Perhimpunan Kedokteran Timur (PDPKT) mengingatkan, dalam bentuk tradisional belum ada studi klinis yang membuktikan bahwa suatu herna terbukti menghambat atau mematikan kanker sama efektifnya dengan obat medis.
Pendapat ini dibenarkan oleh Dr. Arijanto. Penelitian terhadap herba di Indonesia umumnya masih sebatas uji pre-klinis (percobaan terhadap binatang) atau pengamatan kasus per kasus. Dengan demikian, dosis, efek serta efektivitas herba pada setiap penderita bisa bervariasi.
Padahal herba yang cocok bagi orang lain belum tentu cocok bagi kita. Sebab, meskipun jenis kankernya sama, namun kondisi setiap orang bisa berbeda-beda. Hal ini membuat keputusan memilih dan mengkonsumsi herba tidak bisa dipukul rata.
Selain itu, Dr Henry Naland, SpB(K) Onk, ahli kanker yang menjabat Ketua Perhimpunan Kedokteran Timur (PDPKT) mengingatkan, dalam bentuk tradisional belum ada studi klinis yang membuktikan bahwa suatu herna terbukti menghambat atau mematikan kanker sama efektifnya dengan obat medis.
Pendapat ini dibenarkan oleh Dr. Arijanto. Penelitian terhadap herba di Indonesia umumnya masih sebatas uji pre-klinis (percobaan terhadap binatang) atau pengamatan kasus per kasus. Dengan demikian, dosis, efek serta efektivitas herba pada setiap penderita bisa bervariasi.
2. Cermati klaim “mengobati”
Agar bisa disebut obat atau mengobati herba harus lolos uji klinis terlebih dahulu. Sementara hingga saat ini, jumlah herba yang sudah di uji klinis kemudian diisolasi menjadi obat medis dan diberikan dalam kemoterapi masih sangat terbatas. Di antaranya vincristine, vinblastine, vindesine, venorelbin (dibuat dari tapak darah) dan taxol (pacific yew).
Namun di media massa, kita sering menjumpai herba tertentu yang diklaim “mengobati kanker’ tanpa menjelaskan secara rinci apa peranannya. Menurut C. Leight Broadhust, PhD dalam tulisannya yang berjudul “How Do Plants Help Prevent Cancer” (Herbs for Health, Januari 2000), herba yang disebut mengobati ini belum tentu mampu membunuh sel kanker.
Bisa saja, mereka lebih berperan menyuplai antioksidan (kunyit, daun basil, bawang putih, jamur shiitake, reishi, maitake, dsb), menghambat perkembangan sel kanker (lidah buaya, kecambah, jintan, tapak dara, keladi tikus), meningkatkan stamina (gingseng, jahe) atau melindungi hati dari kerusakan akibat penggunaan obat jangka panjang sekaligus mengurangi efek samping terapi seperti mual, muntah, dan tidak nafsu makan (lidah buaya, temulawak).
Jadi herba-herba tersebut bekerja secara tidak langsung, dengan cara meningkatkan system pertahanan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik inilah yang ikut menghambat perkembangan sel kanker dan lebih tepat disebut membantu mengobati.
Namun di media massa, kita sering menjumpai herba tertentu yang diklaim “mengobati kanker’ tanpa menjelaskan secara rinci apa peranannya. Menurut C. Leight Broadhust, PhD dalam tulisannya yang berjudul “How Do Plants Help Prevent Cancer” (Herbs for Health, Januari 2000), herba yang disebut mengobati ini belum tentu mampu membunuh sel kanker.
Bisa saja, mereka lebih berperan menyuplai antioksidan (kunyit, daun basil, bawang putih, jamur shiitake, reishi, maitake, dsb), menghambat perkembangan sel kanker (lidah buaya, kecambah, jintan, tapak dara, keladi tikus), meningkatkan stamina (gingseng, jahe) atau melindungi hati dari kerusakan akibat penggunaan obat jangka panjang sekaligus mengurangi efek samping terapi seperti mual, muntah, dan tidak nafsu makan (lidah buaya, temulawak).
Jadi herba-herba tersebut bekerja secara tidak langsung, dengan cara meningkatkan system pertahanan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik inilah yang ikut menghambat perkembangan sel kanker dan lebih tepat disebut membantu mengobati.
3. Konsultasi, wajib!
Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus dilakukan sebelum mengkonsumsi herba adalah konsultasi terlebih dahulu. Untukl berkonsultasi mengenai herba, pastikan anda membawa hasil diagnose, lengkap dengan pemeriksaan laboratorium yang ada.
Hasil diagnose merupakan pertimbangan untuk menentukan apakah seorang pasien perlu diberi herba sebagai terapi utama atau pendukung, termasuk jenis herba yang paling sesuai dengan kondisi dan gejala yang ada. Sementara pemeriksaan laboratorium bermanfaat untuk menghindari reaksi yang tidak diinginkan (kontraindikasi) antara herba dengan kondisi tubuh pasien. Misalnya, jika memiliki gangguan ginjal atau hati, dokter akan mempertimbangkan herba apa yang paling aman. Pemeriksaan yang perlu dilakukan antara lain kadar asam urat, gula darah, fungsi hati, ginjal dan sebagainya.
Setelah mendapat saran mengenai herba yang perlu dikonsumsi pasien, jangan lupa untuk menanyakan beberapa hal berikut ini:
a. Bagaimana kondisi kesehatan pasien, apakah memungkinkan untuk mengkonsumsi herba?
b. Bagaimana cara kerja herba tersebut?
c. Apakah herba yang bersangkutan akan berpengaruh terhadap obat lain yang sedang dikonsumsi, dan
Hasil diagnose merupakan pertimbangan untuk menentukan apakah seorang pasien perlu diberi herba sebagai terapi utama atau pendukung, termasuk jenis herba yang paling sesuai dengan kondisi dan gejala yang ada. Sementara pemeriksaan laboratorium bermanfaat untuk menghindari reaksi yang tidak diinginkan (kontraindikasi) antara herba dengan kondisi tubuh pasien. Misalnya, jika memiliki gangguan ginjal atau hati, dokter akan mempertimbangkan herba apa yang paling aman. Pemeriksaan yang perlu dilakukan antara lain kadar asam urat, gula darah, fungsi hati, ginjal dan sebagainya.
Setelah mendapat saran mengenai herba yang perlu dikonsumsi pasien, jangan lupa untuk menanyakan beberapa hal berikut ini:
a. Bagaimana kondisi kesehatan pasien, apakah memungkinkan untuk mengkonsumsi herba?
b. Bagaimana cara kerja herba tersebut?
c. Apakah herba yang bersangkutan akan berpengaruh terhadap obat lain yang sedang dikonsumsi, dan
bagaimana cara aman mengkonsumsinya?
d. Berapa lama efeknya akan muncul?
e. Berapa lama herba tersebut dikonsumsi dan kapan harus dihentikan (baik untuk sementara maupun seterusnya)?
d. Berapa lama efeknya akan muncul?
e. Berapa lama herba tersebut dikonsumsi dan kapan harus dihentikan (baik untuk sementara maupun seterusnya)?
4. Pantau Efeknya secara teratur
Namanya juga usaha, pengobatan herba juga sama seperti ilmu pengobatan medis dan komplementer lainnya, yaitu tidak bersifat pasti. Menurut Dr. Willie Japaries, MARS, dokter yang mendalami herba untuk kanker, ada kalanya herba yang dikonsumsi tidak cocok dan harus diganti dengan herba lain yang lebih efektif, atau justru harus dihentikan sama sekali.
Untuk mengukur efektivitasnya, berikut ini beberapa cara yang harus dilakukan secara teratur;
a. Buat jurnal harian
Catat herba apa saja yang dikonsumsi, pukul berapa herba tersebut dikonsumsi, seberapa dosisnta dan amati reaksinya. Jika tubuh merasa lebih enak, teruskan pengobatan. Namun apabila ada keluhan seperti sakit kepala, mulut kering, muntah, diare atau sakit perut ringan, kurangi dosis hingga separuhnya. Bila gejala mereda naikkan dosisnya secara bertahap dalam 2-3 hari sampai dosis biasa. Namun bila gejala sangat mengganggu, segera hentikan dan konsultasi ke dokter.
b. Periksa fungsi hati dan ginjal
Hati dan ginjal merupakan organ yang berperan menyaring racun. Konsumsi maupun interaksi herba dengan obat kimia yang tidak tepat dapat menyebabkan fungsinya terganggu. Untuk menghindari efek yang tidak diinginkan, periksa fungsi hati (SGOT atau SGPT) dan ginjal (ureum, kreatinin) setiap bulan.
Bila hasilnya melebihi normal, hentikan dulu konsumsi herba selama 3 hari, kemudian ulang lagi pemeriksaan poin-poin yang hasilnya abnormal tersebut. Herba bisa dikonsumsi lagi saat hasilnya sudah normal. Tapi kalau tingkat abnormalitasnya terlalu tinggi (mencapai 3x angka standar normal) dan pada pemeriksaan ulang tidak turun, segera hentikan konsumsi herba dan konsultasikan ke dokter.
c. Periksa perkembangan sel kanker
Pada kanker payudara, perkembangan sel kanker bisa diamati secara kasat mata dengan mengukur diameter dan bentuk peradangannya. Pengamatan ini bisa dilakukan setiap hari.
Secara lebih mendalam, periksa kadar hemoglobin (Hb), sel-sel darah putih (leukosit), trombosit (pembeku darah). Bila perlu, tes yang bermanfaat melihat perkembangan sel kanker seperti tes CA 153 (penanda kanker), CEA (carcynoembryonic antigen) dan MCA (Mucinlike Cancer-associated Antigen) juga dapat dilakukan. Tes-tes laboratorium ini sebaiknya dilakukan sebulan sekali, terlebih bila herba digunakan sebagai terapi alternative.
a. Buat jurnal harian
Catat herba apa saja yang dikonsumsi, pukul berapa herba tersebut dikonsumsi, seberapa dosisnta dan amati reaksinya. Jika tubuh merasa lebih enak, teruskan pengobatan. Namun apabila ada keluhan seperti sakit kepala, mulut kering, muntah, diare atau sakit perut ringan, kurangi dosis hingga separuhnya. Bila gejala mereda naikkan dosisnya secara bertahap dalam 2-3 hari sampai dosis biasa. Namun bila gejala sangat mengganggu, segera hentikan dan konsultasi ke dokter.
b. Periksa fungsi hati dan ginjal
Hati dan ginjal merupakan organ yang berperan menyaring racun. Konsumsi maupun interaksi herba dengan obat kimia yang tidak tepat dapat menyebabkan fungsinya terganggu. Untuk menghindari efek yang tidak diinginkan, periksa fungsi hati (SGOT atau SGPT) dan ginjal (ureum, kreatinin) setiap bulan.
Bila hasilnya melebihi normal, hentikan dulu konsumsi herba selama 3 hari, kemudian ulang lagi pemeriksaan poin-poin yang hasilnya abnormal tersebut. Herba bisa dikonsumsi lagi saat hasilnya sudah normal. Tapi kalau tingkat abnormalitasnya terlalu tinggi (mencapai 3x angka standar normal) dan pada pemeriksaan ulang tidak turun, segera hentikan konsumsi herba dan konsultasikan ke dokter.
c. Periksa perkembangan sel kanker
Pada kanker payudara, perkembangan sel kanker bisa diamati secara kasat mata dengan mengukur diameter dan bentuk peradangannya. Pengamatan ini bisa dilakukan setiap hari.
Secara lebih mendalam, periksa kadar hemoglobin (Hb), sel-sel darah putih (leukosit), trombosit (pembeku darah). Bila perlu, tes yang bermanfaat melihat perkembangan sel kanker seperti tes CA 153 (penanda kanker), CEA (carcynoembryonic antigen) dan MCA (Mucinlike Cancer-associated Antigen) juga dapat dilakukan. Tes-tes laboratorium ini sebaiknya dilakukan sebulan sekali, terlebih bila herba digunakan sebagai terapi alternative.
5. Saat operasi dan kemoterapi
Ada beberapa herba yang sebaiknya tidak dikonsumsi saat pasien menjalani operasi dan kemoterapi, karena berisiko memicu efek samping. Berikut yang harus diwaspadai:
1. Saat Operasi
Hindari herba yang bersifat mengencerkan darah seperti ginko biloba dan bawang putih, karena berisiko menimbulkan pendarahan. Penggunaan bawang putih sebagai bumbu masak selama 2 minggu pertama setelah operasi pun sebaiknya dihindari dulu.
2. Selama Kemoterapi
Jangan minum herba yang dosisnya belum diketahui dengan pasti, karena justru dapat menurunkan daya tahan tubuh. Salah satu herba yang sebaiknya dihindari saat menjalani kemoterapi adalah tapak dara karena beresiko mengurangi jumlah sel darah putih.
1. Saat Operasi
Hindari herba yang bersifat mengencerkan darah seperti ginko biloba dan bawang putih, karena berisiko menimbulkan pendarahan. Penggunaan bawang putih sebagai bumbu masak selama 2 minggu pertama setelah operasi pun sebaiknya dihindari dulu.
2. Selama Kemoterapi
Jangan minum herba yang dosisnya belum diketahui dengan pasti, karena justru dapat menurunkan daya tahan tubuh. Salah satu herba yang sebaiknya dihindari saat menjalani kemoterapi adalah tapak dara karena beresiko mengurangi jumlah sel darah putih.
6. Jangan abaikan terapi medis
Selama belum ada standarisasi, penggunaan herba dalam pengobatan kanker memang harus ekstra hati-hati. Mengenai hal ini pun, Dr Arijanto maupun Dr Henry Naland sepakat agar konsumsi herba tetap disertai pengobatan medis.
Berdasarkan studi kasus, Dr Henry Naland mengamati pasien yang mengkonsumsi herba dengan disertai terapi medis seperti bedah, radiasi, kemoterapi atau terapi hormone, umumnya memiliki kondisi yang lebih baik dan kekambuhannya berkurang. Penelitian mengenai efektivitas terapi herba bila dikonsumsi bersama tindakan medis juga pernah dimuat di International Journal of Oriental Medicine (1992). Dalam journal itu, seorang peneliti bernama Guan-ting Wan menyatakan bahwa tingkat kesembuhan pasien yang mengkonsumsi herba antikanker dan herba yang berperan meningkatkan system imun mempunyai tingkat kesembuhan lebih tinggi daripada yang tidak mengkonsumsi. Persentasenya mencapai 41,2% (selama 3 tahun ke depan), dan 30,4% (selama 5 tahun ke depan).
Pengobatan herba sebagai terapi alternative sebaiknya dilakukan bila pasien memiliki kondisi khusus, termasuk sebagai terapi paliatif. Misalnya, kankernya beresiko tinggi bila dibedah, atau pasien berada dalam stadium tertentu. Dalam keadaan semacam itu, herba bisa menjadi terapi utama. Yang penting, penggunaanya harus tetap dikontrol oleh dokter. (Sumber: Nirmala).
Berdasarkan studi kasus, Dr Henry Naland mengamati pasien yang mengkonsumsi herba dengan disertai terapi medis seperti bedah, radiasi, kemoterapi atau terapi hormone, umumnya memiliki kondisi yang lebih baik dan kekambuhannya berkurang. Penelitian mengenai efektivitas terapi herba bila dikonsumsi bersama tindakan medis juga pernah dimuat di International Journal of Oriental Medicine (1992). Dalam journal itu, seorang peneliti bernama Guan-ting Wan menyatakan bahwa tingkat kesembuhan pasien yang mengkonsumsi herba antikanker dan herba yang berperan meningkatkan system imun mempunyai tingkat kesembuhan lebih tinggi daripada yang tidak mengkonsumsi. Persentasenya mencapai 41,2% (selama 3 tahun ke depan), dan 30,4% (selama 5 tahun ke depan).
Pengobatan herba sebagai terapi alternative sebaiknya dilakukan bila pasien memiliki kondisi khusus, termasuk sebagai terapi paliatif. Misalnya, kankernya beresiko tinggi bila dibedah, atau pasien berada dalam stadium tertentu. Dalam keadaan semacam itu, herba bisa menjadi terapi utama. Yang penting, penggunaanya harus tetap dikontrol oleh dokter. (Sumber: Nirmala).